TRADISI MUDIK DAN HALAL BIHALAL
DALAM PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARI’AH
Oleh : Khaerul Umam, S.Ag
Fenomena yang ada dan hanya terjadi di Indonesia menjelang dan pasca hari Raya Idul Fitri adalah tradisi Mudik dan Halal Bihalal. Mudik dan Halal Bihalal sudah menjadi budaya yang mengurat dan berakar di masyarakat kita. Lalu bagaimana pandangan Syariat agama Islam (Maqashid al-Syari’ah) terhadap fenomena Mudik dan Halal bihalal tersebut?
A. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan entitas sub-kultur yang kaya dan beragam. Dari keragaman ini, kemudian memunculkan satu budaya yang indah. Proses ekstraksi budaya ini kemudian ragam ekspresi ketika nilai-nilai budaya “berdialog” dengan nilai-nilai agama. Salah satunya adalah budaya Mudik dan budaya Halal bihalal. Fenomena mudik lebaran di Indonesia memang unik dan jarang ditemukan di negara lain. Sekitar satu minggu sebelum lebaran, para perantau berbondong-bondong meninggalkan ibukota dan kembali ke kampung halaman. Mudik Lebaran merupakan suatu tradisi untuk berkumpul lagi bersama keluarga dalam suasana perayaan hari raya Iedul Fitri atau Lebaran, mereka saling mengunjungi dan berkumpul untuk silaturahmi dan saling mema’afkan yang kemudian terkenal dengan tradisi Halal bihalal. Orang-orang rela antre, berdesak-desakan serta macet panjang demi bisa melaksanakan tradisi pulang ke kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga saat lebaran. Mudik secara khusus memang ditujukan untuk momentum pulang kampung saat lebaran saja. Sedangkan pulang kampung yang dilakukan pada hari biasa, tidak mendapat sebutan mudik. Lantas bagaimana awal mula tradisi mudik lebaran dan halal bihalal di Indonesia? Mengapa mudik selalu menjadi tradisi setiap tahun bagi masyarakat Indonesia? Lalu bagaimana pandangan Syariat agama Islam (Maqashid al-Syari’ah) terhadap fenomena Mudik dan Halal bihalal tersebut?
B. MUDIK, HALAL BIHALAL DAN MAQASHID AL-SYARI’AH
1. Awal Mula Tradisi Mudik dan Halal Bihalal di Indonesia
Dahulu antara mudik dan lebaran tidak memiliki kaitan satu sama lain. Dalam bahasa Jawa ngoko, Mudik berarti ‘Mulih dilik’ yang berarti pulang sebentar saja. Namun kini, pengertian Mudik dikaitkan dengan kata ‘Udik’ yang artinya kampung, desa atau lokasi yang menunjukan antonim dari kota. Lantas pengertian ini ditambah menjadi ‘Mulih Udik’ yang artinya kembali ke kampung atau desa saat lebaran. Sebenarnya tradisi mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah berjalan sejak sebelum zaman Kerajaan Majapahit. Dahulu para perantau pulang ke kampung halaman untuk membersihkan makam para leluhurnya. Hal ini dilakukan untuk meminta keselamatan dalam mencari rezeki.
Namun istilah mudik lebaran baru berkembang sekitar tahun 1970-an. Saat itu Jakarta sebagai ibukota Indonesia tampil menjadi satu-satunya kota di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat. Saat itu sistem pemerintahan Indonesia tersentral di sana dan ibukota negara melesat dengan berbagai kemajuannya dibandingkan kota-kota lain di Tanah Air. Bagi penduduk lain yang berdomisili di desa, Jakarta menjadi salah satu kota tujuan impian untuk mereka mengubah nasib. Lebih dari 80 persen para urbanis datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Mereka yang sudah mendapatkan pekerjaan biasanya hanya mendapatkan libur panjang pada saat lebaran saja. Momentum inilah yang dimanfaatkan untuk kembali ke kampung halaman. Hal ini terus berlanjut dan semakin berakar ketika banyak urbanis yang mencoba peruntungannya di kota. Tidak hanya di Jakarta, tradisi perpindahan penduduk dari desa ke kota juga terjadi di ibukota provinsi lainnya di Indonesia. Terlebih dengan diterapkan otonomi daerah pada tahun 2000, maka orang semakin banyak mencari peruntungan di kota. Sama seperti halnya di Jakarta, mereka yang bekerja di kota hanya bisa pulang ke kampung halaman pada saat liburan panjang yakni saat libur lebaran. Sehingga momentum ini meluas dan terlihat begitu berkembang menjadi sebuah fenomena.
Sementara itu asal usul Halal bihalal berasal dari KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1948. KH Wahab Hasbullah merupakan seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama. KH Wahab Hasbullah memperkenalkan istilah Halal bihalal pada Bung Karno sebagai bentuk cara silaturahmi antar-pemimpin politik yang pada saat itu masih memiliki konflik. Atas saran KH Wahab Hasbullah, pada Hari Raya Idul Fitri di tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi judul ‘Halal bihalal.‘ Para tokoh politik akhirnya duduk satu meja. Mereka mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depan. Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halal bihalal.Halal bihalal kemudian diikuti masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Hingga kini Halal bihalal menjadi tradisi di Indonesia.
Versi lain mengatakan Tradisi Halal bihalal diyakini sudah ada sejak masa Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Saat itu, untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran dan biaya, setelah salat Idulfitri, Pangeran Sambernyawa mengadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Pada pertemuan ini diadakanlah tradisi sungkem atau saling memaafkan. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal.
Dalam setiap perayaan Idul fitri, terdapat berbagai macam tradisi yang selalu dilakukan umat muslim di hari Kemenangan ini. Seperti melaksanakan ibadah salat Id bersama-sama di masjid, berziarah kubur, hingga berkumpul bersama keluarga dan menyantap hidangan makanan lezat. Tidak heran, jika lebaran menjadi momen yang selalu penuh kehangatan dan kegembiraan. Selain itu, halal bihalal juga menjadi tradisi yang selalu melekat setiap perayaan Hari Raya Idulfitri. Tradisi ini biasanya berupa acara pertemuan atau perkumpulan yang digelar untuk saling bermaaf-maafan. Halal bihalal ini sering kali diadakan dalam lingkup keluarga besar, lingkup kantor, kelompok pedagang, hingga organisasi atau instansi swasta maupun pemerintah. Dalam hal ini, dipahami bahwa makna halal bihalal tidak lain adalah saling bermaaf-maafan. Namun ternyata tradisi halal bihalal ini bukan berasal dari Arab, melainkan Indonesia. Hanya masyarakat Indonesia yang memiliki dan melakukan tradisi halal bihalal di setiap Idul fitri. Bukan hanya bermaaf-maafan, tradisi ini mempunyai berbagai manfaat kebaikan bagi siapa pun yang mengerjakan.
2.Tujuan serta Manfaat Mudik dan Halal Bihalal
Sebagai fenomena tahunan masyarakat Indonesia, mudik sudah dikenal oleh banyak orang. Meski awalnya tradisi ini lahir dari sebagian kalangan ummat Islam yang merayakan kegembiraan karena ingin memperkuat silaturahmi dengn keluarganya di kampung halaman menjelang Lebaran, namun praktiknya saat ini, mudik dilakukan oleh siapa saja tanpa melihat agama dan latar belakang lainnya. Tradisi mudik bagi perantau di ibu kota juga bertujuan menunjukkan eksistensi keberhasilannya. Selain itu, juga ajang berbagi kepada sanak saudara yang telah lama ditinggal untuk ikut merasakan keberhasilannya dalam merantau. Mudik juga menjadi terapi psikologis memanfaatkan libur lebaran untuk berwisata setelah setahun sibuk dalam rutinitas pekerjaan sehingga saat masuk kerja kembali memiliki semangat baru.
Mengapa masyarakat tetap ingin mudik? Mengapa mudik selalu menjadi tradisi setiap tahun bagi masyarakat Indonesia? Hal ini karena tradisi mudik memiliki tiga dimensi yaitu dimensi spiritual kultural, dimensi sosial, dan dimensi psikologis. Pertama, mudik memiliki dimensi spiritual kultural karena mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa. Tradisi mudik terkait dengan kebiasaaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam para leluhur. Oleh karena itu, tradisi berziarah muncul dan bertahan dari waktu ke waktu. Selain memiliki dimensi spiritual kultural, mudik juga memiliki dimensi psikologis. Pulang kampung memberikan rasa nyaman, aman, dan tenang karena bertemu dengan keluarga besar. Dimensi terakhir dari mudik yaitu dimensi sosial. Banyak yang ingin mudik ke kampung halaman karena ingin menaikkan posisinya di depan keluarga dan kerabat. Hal ini muncul karena adanya anggapan bahwa kehidupan di perkotaan selalu lebih baik dan lebih berhasil dibandingkan kehidupan di desa. Oleh karena itu, mudik menjadi salah satu media untuk mengkomunikasikan cerita keberhasilan sekaligus menaikkan posisinya pada strata sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya. Cerita keberhasilan tersebut diwujudkan dengan membeli baju baru, gadget baru, atau barang-barang lainnya yang bertujuan untuk ditunjukkan di depan keluarga, tetangga, dan kerabat. Alhasil mudik juga menjadi penyalur jiwa konsumeris dan hedonis.
Ilustrasi Kegiatan Halal bihalal
Masyarakat yang mudik atau pulang kampung bisa dengan beragam alasan dan bisa dalam waktu yang temporer atau permanen. Mudik berkaitan dengan masalah urbanisasi, kemiskinan, dan kesenjangan sosial. Masyarakat cenderung untuk melakukan urbanisasi untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengentaskan kemiskinan. Karena, adanya banyak peluang di kota besar. Pulang kampung juga dapat mengurangi kemiskinan. Gengsi untuk menunjukkan kesuksesan dapat meningkatkan keinginan masyarakat untuk keluar dari kemiskinan. Dilihat dari kesejahteraan sosial, masyarakat yang kembali ke kampung halaman memberikan dampak positif. Namun hal ini kembali lagi pada persyaratan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial diatas yang harus terpenuhi. Sehingga perpindahan masyarakat dari kota ke desa bukan sekedar perpindahan tenaga kerja tanpa makna, namun memiliki makna bagi peningkatan kesejahteraan.
Untuk konteks Indonesia, secara sosiologis para pemudik adalah aktor sosial yang membangun sistem sosialnya sendiri. Hal ini bisa dilihat pada beragam fakta di lapangan. Misalnya, pemerintah daerah berbondong-bondong memperbaiki sarana penunjang kelancaran proses mudik mulai dari jalan, destinasi wisata, tempat peristirahatan, dan sebagainya. Ada para pemudik yang disambut secara meriah oleh pemerintah lokal. Mereka kerap dianggap sebagai pahlawan kampung halaman. Karena ketika sedang merantau di kota maupun ketika mudik ke kampung halamannya, para pemudik ini tidak pernah melepaskan kepedulian sosial ekonominya kepada penduduk yang tidak bisa atau tidak mau merantau. Begitu pun pihak swasta. Mereka juga terimbas oleh sistem sosial pemudik ini. Beragam perusahaan transportasi mendapatkan keuntungan besar ketika jaman mudik. Pemilik P.O Bus, travel, kereta, pesawat, kapal laut, semua mendapatkan limpahan berkah dari aktivitas pemudik ini. Di perjalanan menuju titik tujuan, beragam fasilitas untuk permudik tersedia dengan baik. Mulai dari rest area yang menyuguhkan berbagai hidangan untuk pemudik yang beristirahat sebelum mereka kembali menempuh perjalanannya; sampai kepada berbagai perusahaan yang menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk membantu pemudik mulai dari cek kendaraan gratis, kopi gratis, sampai pijat gratis, dan sebagainya.
Artinya, para pemudik ini merupakan entitas istimewa. Mereka memang sudah bersabar untuk menahan diri tidak pulang kampung dulu, tetapi memilih saat menjelang lebaran atau sesaat setelahnya untuk kembali ke kampung halaman. Mereka yang sudah menahan diri ini kemudian berpotensi akan mengalirkan sumberdaya yang dimilikinya di tempat tujuan. Pengeluaran ini bisa berupa kebutuhan rutin, sampai kepada kegiatan berbagi kepada saudara dan tetangga. Sumberdaya yang besar ini pasti memiliki dampak ekonomi dan sosial di daerah tujuan. Maka wajar jika pemerintah daerah kemudian sangat berterima kasih kepada para pemudik ini.
Halal bihalal merupakan suatu usaha yang dilakukan untuk menyambung kembali yang sebelumnya terputus. Dengan melaksanakan halal bihalal, masyarakat dapat menyambung silaturahim untuk saling memaafkan dan terbebas dari kesalahan dan dosa yang diperbuat sebelumnya. Dalam hal ini, halal yang thayyib merupakan berbagai hal yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Alquran memerintahkan umat muslim untuk melakukan berbagai aktivitas yang memberikan makna kebaikan dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi dasar mengapa Alquran tidak hanya menuntut umat muslim untuk saling memaafkan melainkan juga berbuat baik terhadap sesama. Sikap saling memaafkan dan mengasihi antar manusia tentu dapat memberikan manfaat kebaikan di dunia.
Perlu diketahui pula beberapa hikmah kebaikan yang bisa didapatkan dari kegiatan halal bihalal. Kegiatan ini tentu saja dapat memberikan kesempatan bagi umat muslim dan masyarakat lainnya untuk saling bersilaturahim, memaafkan kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan antar manusia. Bukan hanya itu, hikmat kebaikan dari halal bihalal juga meliputi:
- Mendapat ridho kebaikan dari Allah SWT
- Membuat gembira sanak saudara
- Silaturahim merupakan kegiatan yang akan menggembirakan malaikat
- Mendapat pujian baik dari orang muslim
- Menyusahkan iblis menggoda manusia
- Menambah umur panjang bagi siapa pun yang melakukan
- Memberikan limpahan berkah dalam rezeki
- Menggembirakan orang-orang yang meninggal dunia
- Mempererat tali persaudaraan antar manusia
- Menambah pahala setelah meninggal karena banyak sanak saudara yang selalu mendoakan
3. Mudik dan Halal Bihalal Dalam Perspektif Maqashid al-Syari’iyah
Kata maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad yang artinya “maksud dan tujuan”. Sedangkan syariah bermakna “hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat”. Sedangkan Wahbah al-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menuliskan bahwa maqashid syariah adalah makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara’ dalam seluruh atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari syariat dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara’ pada setiap hukumnya. Al-Syatibi dalam al-Muwafaqat fi Usul al-Syari’ah Jilid II mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan syariat adalah demi terwujudnya maslahat hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, penetapan hukum harus mengarah pada terwujudnya tujuan tersebut. Lebih lanjut, Al-Syatibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat, ada lima pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama (Hifdzu al-Diin), jiwa (Hifdzu al-Nafs), akal (Hifdzu al-‘Aql), keturunan (Hifdzu al-Nasl), dan harta (Hifdzu al-Maal).
Menyikapi fenomena mudik lebaran di Indonesia memang unik, menarik dan jarang ditemukan di negara lain serta menimbulkan dampak yang luar biasa, yang menjadi pertanyaan adalah apakah mudik ini berkaitan dengan tradisi yang diatur dan terdapat dalam Islam?
Jika yang dipakai adalah ajaran baku di agama Islam, tentu tidak ada ajaran Islam yang meminta umatnya untuk mudik saat Lebaran. Tapi Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga tali silaturahim dengan sesama manusia. Terlebih menjaga tali silaturahim dengan kerabat dan sanak saudara. Pola mudik akhirnya pada akhirnya tidak hanya berhenti hanya sekedar pulang kampung saja. Mudik dalam perkembangannya akhirnya berpadu dengan tradisi halal bi halal, yang sudah ada sebelum maraknya istilah ‘Mudik Lebaran’. Dalam masyarakat Jawa tradisi halal bi halal dilakukan dalam bentuk ‘Sungkeman’ atau duduk bersujud meminta maaf. ‘Sungkeman‘ ini sebenarnya juga merupakan pengejawantahan dari ajaran Islam untuk bermaaf-maafan. Sungkeman dimulai dari sungkem kepada ibu/bapak, dilanjutkan dengan sungkem dari saudara yang muda kepada yang lebih tua.
Dalam konteks yang lebih umum, tradisi halal bi halal ini dilakukan dengan saling menyambangi orang tua atau orang yang secara hirarkhi dianggap lebih tinggi. Tentu hirarkhi dalam konteks ini bukan sekadar kedudukan sosial atau jabatan. Tapi juga hirarkhi dari sisi umur. Orang muda akan mendatangi orang yang lebih tua. Melongok dari catatan-catatan tersebut bisa dikatakan ‘Mudik Lebaran’ bukanlah budaya yang diimpor dari Arab. Mudik Lebaran adalah budaya yang asli tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia. Sebuah budaya yang lahir dari perpaduan nilai dan tradisi yang sudah ada di masyarakat Indonesia.Tidak heran sekalipun momentum mudik ini terjadi pada saat perayaan hari raya umat muslim, yaitu Idul Fitri, pelaku mudik tidak hanya umat Islam. Penganut agama lain pun juga menjadi ‘Pemudik’ saat Lebaran.
Tujuan masyarakat Indonesia yang melaksanakan mudik adalah untuk menghubungkan tali silaurrahmi dan saling memaafkan yang dibingkai dalam kegiatan yang sudah menjadi tradisi yang baik yaitu tradisi Halal bihalal. Silaturrahmi dan Saling memaafkan adalah bagian dari ajaran Islam dan sangat diperintahkan oleh agama kita serta sebagai upaya kita dalam menjaga, mempertahankan dan mensyiarkan nilai-nilai ajaran agama kita, yang dalam Maqashid al-Syari’ah disebut dengan menjaga agama (Hifdzu al-Diin). Dalam Al Quran, Allah memerintahkan kita untuk saling memaafkan.“Jadilah pemaaf dan anjurkanlah orang berbuat baik, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A`raf: 199). Dalam ayat yang lain, Allah SWT berfirman:
وَالَّذِيْنَ يَصِلُوْنَ مَآ اَمَرَ اللّٰهُ بِهٖٓ اَنْ يُّوْصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُوْنَ سُوْۤءَ الْحِسَابِۗ
Artinya: “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS. Ar Ra’du: 21).
Ibnu Katsir menerangkan mengenai ayat tersebut yakni perintah Allah SWT agar menjalin silaturahmi, berbuat baik kepada kaum kerabat dan sanak famili, juga kepada kaum fakir miskin, orang-orang yang memerlukan bantuan, dan mendermakan kebajikan. Mereka (orang-orang beriman) itu takut kepada Tuhannya. Dalam surat lain, Allah SWT melaknat orang-orang yang suka memutus tali silaturahmi sebagaimana dalam firman-Nya : أَنْ تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ, Artinya: “Kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan. (QS. Muhammad: 22). Yaitu kalian akan kembali kepada kejahiliahan kalian di masa silam dengan membiarkan darah mengalir dan terputusnya hubungan kekeluargaan? Karena itulah dalam firman Allah SWT berikutnya disebutkan: أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ , Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang dilaknati oleh Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka” (QS. Muhammad: 23). Larangan membuat kerusakan di muka bumi ini bersifat umum dan larangan memutuskan hubungan kekeluargaan bersifat khusus, bahkan Allah memerintahkan untuk berbuat kebaikan di muka bumi dan menghubungkan tali persaudaraan, yaitu dengan berbuat baik kepada kaum kerabat melalui ucapan dan perbuatan serta bersedekah kepada mereka.
Sementara itu, di hadits-hadits Rasulullah SAW banyak disebutkan tentang penting dan manfaat silaturrahmi, diantaranya:
صِلْ مَنْ قَطَعَكَ وَأَعْطِ مَنْ حَرَمَكَ وَأَعْرِضْ عَمَّنْ ظَلَمَكَ
Artinya: “Sambunglah orang yang memutuskan (hubungan dengan)mu, berilah kepada orang yang tidak memberi kepadamu, dan berpalinglah dari orang yang berbuat zalim kepadamu.” (HR Ahmad).
مَا مِنْ ذَنْبٍ أَحْرَى أَنْ يُعَجِّلَ اللهُ لِصَاحِبِهِ الْعُقُوْبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يُدَّخَرُ لَهُ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْبَغْيِ وَقَطِيْعَةِ الرَّحِمِ
Artinya: “Tidak ada dosa yang Allah SWT lebih percepat siksaan kepada pelakunya di dunia, serta yang tersimpan untuknya di akhirat selain perbuatan zalim dan memutuskan tali silaturahmi.” (HR Tirmidzi).
وَعَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ رضي الله عنه قالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّه صلى الله عليه و سلم : “لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ” يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
Artinya: “Dari Jubair bin Muth‘im ra ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang memutus silaturahim.” (HR.Muttafaqun ‘alaih).
الصَّدَقَةُ عَلَى الْمِسْكِيْنِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ
Artinya: “Sedekah terhadap orang miskin adalah sedekah, dan terhadap keluarga sendiri mendapat dua pahala: sedekah dan silaturahmi.” (HR Tirmidzi).
عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Artinya: “Dari Ibnu Syihab dia berkata; telah mengabarkan kepadaku Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR. Bukhari).
C. PENUTUP
Fenomena mudik lebaran di Indonesia memang unik dan jarang ditemukan di negara lain. Sekitar satu minggu sebelum lebaran, para perantau berbondong-bondong meninggalkan ibukota dan kembali ke kampung halaman. Mudik Lebaran merupakan suatu tradisi untuk berkumpul lagi bersama keluarga dalam suasana perayaan hari raya Iedul Fitri atau Lebaran, mereka saling mengunjungi dan berkumpul untuk silaturahmi dan saling mema’afkan yang kemudian terkenal dengan tradisi Halal bihalal. Selain tiga dimensi mudik diatas (Spiritual, kultural dan psikologis), mudik pada hakikatnya merupakan ajang untuk menyemai kesalehan vertikal dan horizontal. Kesalehan vertikal bermakna bahwa orang-orang yang merayakan harus kembali pada kefitrian (kesucian) jati diri kemanusiannya sebagai hamba Tuhan setelah berpuasa selama bulan Ramadhan. Kemudian kesalehan horizontal bermakna bahwa orang-orang harus menyambungkan tali silaturahim dengan keluarga, sahabat, dan kerabat tanpa adanya keinginan untuk menunjukkan prestise, melainkan murni untuk menjalin kekeluargaan dan kehangatan kembali.
Silaturrahmi dan Saling memaafkan adalah bagian dari ajaran Islam dan sangat diperintahkan oleh agama kita serta sebagai upaya kita dalam menjaga, mempertahankan dan mensyiarkan nilai-nilai ajaran agama kita, yang dalam Maqashid al-Syari’ah disebut dengan menjaga agama (Hifdzu al-Diin). secara sosiologis para pemudik adalah aktor sosial yang membangun sistem sosialnya sendiri dan menjadi bagian dari berputarnya roda perekonomian negara, yang dalam Maqashid al-Syari’ah disebut dengan menjaga harta (Hifdzu al-Maal). Seperti pihak swasta, mereka juga terimbas oleh sistem sosial pemudik ini. Beragam perusahaan transportasi mendapatkan keuntungan besar ketika jaman mudik. Pemilik P.O Bus, travel, kereta, pesawat, kapal laut, semua mendapatkan limpahan berkah dari aktivitas pemudik ini. Para pemudik ini juga berpotensi akan mengalirkan sumberdaya yang dimilikinya di tempat tujuan. Pengeluaran ini bisa berupa kebutuhan rutin, sampai kepada kegiatan berbagi kepada saudara dan tetangga. Sumberdaya yang besar ini pasti memiliki dampak ekonomi dan sosial di daerah tujuan.
Jika dilihat dari perspektif kesejahteraan sosial, mudik sebenarnya memiliki dampak bagi kesejahteraan sosial. Masyarakat yang mudik atau pulang kampung bisa dengan beragam alasan dan bisa dalam waktu yang temporer atau permanen. Mudik bisa berkaitan dengan masalah urbanisasi, kemiskinan dan kesenjangan sosial. Masalah kemiskinan di pedesaan dan bertambahnya tenaga kerja dari desa yang memenuhi wilayah perkotaan telah menciptakan urbanisasi yang tak terkendali. Banyak warga dari desa yang ingin bekerja di perkotaan karena tergiur dengan iming-iming kehidupan kota yang lebih baik daripada di desa. Padahal mencari pekerjaan di perkotaan tidak lebih mudah dibandingkan mencari pekerjaan di pedesaan. Secara lapangan pekerjaan, lapangan pekerjaan di kota memang lebih banyak dan lebih beragam. Namun bagi orang-orang yang tidak memiliki keterampilan, tingkat pendidikan yang rendah, dan akses informasi yang terbatas, mereka justru akan mengalami kesulitan mencari pekerjaan di kota. Alhasil mereka akhirnya memilih bekerja di sektor informal yang tidak memiliki kepastian pendapatan dan tidak mendapatkan perlindungan.
Urbanisasi yang tidak terkendali akan menimbulkan kantung-kantung pemukiman kumuh di perkotaan. Munculnya pemukiman kumuh merupakan dampak ketidakmampuan masyarakat untuk mengakses layanan infrastruktur dasar, terutama masyarakat berpenghasilan rendah yang biasanya bekerja di sektor informal. Infrastruktur dasar itu meliputi akses terhadap layanan penyediaan air minum, sanitasi, sistem pengelolaan air limbah dan persampahan hingga drainase pemukiman Akhirnya, harapan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik dengan hidup di perkotaan justru tidak tercapai. Oleh karena itu, pemerintah pusat dan daerah seyogianya untuk terus membangun daerah-daerahnya dan menciptakan banyak lapangan pekerjaan di daerah terutama daerah pedesaan sehingga pemerataan kesejahteraan bias terwujud dan arus urbanisasi bisa diminimalisir.
——————-
**) Penulis adalah Penghulu Ahli Muda pada KUA Kec. Pakuhaji Kab.Tangerang, Da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan.